http://i.picasion.com/pic77/ef466a3101b6aaa1690add4435b34c92.gif

Friday, September 26, 2008

Omah Dhuwur Restaurant.. Unik.. Nikmat..





Apa rasanya menyantap hidangan di colonial mansion dengan arsitektur Jawa - Belanda dan berusia lebih dari 150th ? Apalagi jika hidangannya merupakan perpaduan timur dan barat ditambah atmosfer restaurant yang unik ? Jawabannya bisa anda temukan di Omah Dhuwur, restaurant yang terletak di daerah Kotagede, Yogyakarta.
Menu hidangannya bisa jadi tidak akan anda temukan ditempat lain karena chef Omah Dhuwur khusus membuat kreasi-nya untuk restaurant ini, demikian juga dengan rupa-rupa minumannya. Begitu anda tiba maka Wedang Lombok dan keripik singkong dalam wadah anyaman bambu akan disajikan untuk anda sebagai welcome drink. Walaupun namanya Wedang Lombok, anda tidak usah kuatir akan menahan rasa pedas ketika meneguk minuman ini, karena campuran air rebusan lombok ini sudah dicampur dengan serai dan kayu manis (untuk memberikan warna merah) sehingga rasanya justru menyegarkan dan dijamin berbeda dari welcome drink manapun. Keripik singkong bisa menjadi kudapan anda sembari menunggu hidangan siap.







Cobalah International Haute Cuisine-nya seperti Omah Dhuwur (OD) Steak, anda pasti akan bertanya-tanya dimana daging tenderloin-nya karena bentuknya ketika disajikan sudah berbeda. Alih-alih menyajikannya dengan kentang goreng atau mashed potatoe, OD Steak ini disajkan dengan singkong rebus yang creamy sebagai penggantinya, sausnya-pun terbuat dari campuran tempe. Rasanya ? Sangat unik.

Anda juga bisa mencoba Omah Dhuwur Specialities-nya seperti Traditional Fried Rice, anda bisa memilih ingin nasi goreng kampung atau nelayan. Untuk dessert-nya anda bisa mencoba OD Palm Banana berupa pisang yang digoreng bersama dengan palm sugar yang diberi sepotong cookie/kue kering dan es krim vanila diatasnya. Rasa panas dari pisang dan dingin dari es krim vanila menyatu dengan pas dilidah anda.

Kalau anda tidak ingin menyantap hidangan ˜berat", anda bisa memesan Bruschetta, yaitu potongan daging ayam fillet yang sudah digoreng seperti nugget disajikan dengan saus tomat diatas potongan roti dan diĆ¢€™selimutiĆ¢€™ oleh keju sebelum dipanggang. Cukup sebagai pengganjal perut.






Untuk minuman, Omah Dhuwur juga memiliki jenis minuman yang khas untuk dicoba, yaitu Ice asli OD, yang terdiri dari campuran kayu manis, cengkeh, leci, agar-agar yang diserut dan daun jeruk. Selain itu anda juga bisa mencoba OD Punch yang terbuat dari kunyit, jahe, lemon juice dan asam jawa. Rasanya sangat menyegarkan dan tidak terlalu terasa seperti jamu.

Untuk bersantap seorang diri anda harus menyiapkan dana setidak-tidaknya Rp 100.000,- untuk mendapatkan main course beserta dessert-nya. Harga rata-rata minuman adalah sekitar Rp 12.252,- dan untuk dessert dimulai dari Rp 20.252,- Harga belum termasuk 10% tax dan 7.5% service charge.



Selain melayani tamu restauran secara perorangan, Omah Dhuwur juga bisa digunakan sebagai tempat menyelenggarakan resepsi pernikahan karena masih ada areal yang cukup luas dibagian bawah dan sangat indah dimalam hari. Areal tersebut bisa menampung sampai 300 tamu sekaligus, kalau anda ingin mengundang tamu lebih dari itu maka anda bisa mengatur agar para tamu tidak datang pada saat yang bersamaan.

Dengan arsitektur Omah Dhuwur yang unik karena usia bangunannya sudah lebih dari 100thn, atmosfer unik yang dihasilkan dan jenis hidangan yang ditawarkan saya yakin anda akan mendapatkan pengalaman kuliner yang berbeda dari kunjungan ke Omah Dhuwur.


Restoran: Omah Dhuwur
Kotagede, Yogyakarta, DI Yogyakarta
Jl. Mondorakan no.252, Kotagede - Yogyakarta. Telp:[0274] 374952

SUMBER: http://www.navigasi.net

Nuansa Klasik Gudeg Pawon









GUDEG Jogja? Tentu sudah tak asing lagi. Makanan khas ini banyak sekali dan mudah ditemukan di setiap sudut kota Jogja. Makanan ini memang cocok disantap di segala suasana, mulai dari menu sarapan, makan siang, makan malam, hingga dini hari.

Penjual menu ini juga sangat banyak dan tersebar di seluruh penjuru Jogja. Mulai dari penjual kaki lima yang buka di pagi hari untuk menyuplai kebutuhan sarapan warga Jogja, menu high-level yang terkenal semacam Gudeg Wijilan dan Gudeg Barek, hingga warung lesehan di emperan toko yang tutup di malam dan dini hari.

Dari sekian banyak gudeg yang ada di Jogja, ternyata beberapa di antaranya memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Salah satunya adalah gudeg pawon. Kali ini, kita akan mencicipi gudeg yang sangat terkenal dan legendaris tersebut.

Keunikan dari gudeg ini sebenernya bukan terletak pada menunya, bahkan boleh dibilang rasa gudeg beraliran putih ini ndak ada yang istimewa bila dibandingkan dengan gudeg-gudeg sejenis. Akan tetapi letak keunikannya adalah tempat dijualnya gudeg ini, yaitu di pawon atau dapur.




Tempat berjualan gudeg ini tidak seperti warung-warung pada umumnya. Karena memang tempat berjualannya di pawon alias dapur, maka kita harus jeli untuk menemukan tempat ini. Tetapi hal ini tidaklah sulit, karena tempat ini mudah dikenali, yaitu banyaknya kendaraan yang diparkir di depannya, mulai dari sepeda motor hingga mobil-mobil.

Lokasi gudeg ini berada pada Jalan Janturan, Glagah, Yogyakarta. Dari Jalan Kusumanegara, pada pertigaan di depan Toserba Pamela, belok ke selatan. Setelah melewati kampus UTY dan Ahmad Dahlan, maka Anda akan menemukan rumah yang di depannya banyak diparkir kendaraan, di situlah Gudeg Pawon berada.




Nuansa klasik langsung terasa ketika memasuki dapur yang berdiri sejak tahun 1958 ini. Dari pintu masuk, di sebelah kiri dapat kita lihat tungku berbahan bakar kayu yang masih digunakan untuk memasak gudeg ini. Di sebelah kanan dapat kita temui kursi-kursi jika kita ingin makan sambil menikmati nuansa klasik yang tercipta.

Menengok ke atas, akan ditemui atap tanpa asbes yang berwarna hitam karena banyaknya jelaga yang menempel di atas langit-langit. Kesan dapur semakin kental ketika kita mendapati bumbu-bumbu dapur yang sengaja diletakkan di sudut ruangan.








Bagi yang merasa pengap bila berada di dalam dapur, bisa keluar dan duduk di kursi yang disediakan di luar. Akan tetapi, nuansa klasik yang dirasakan tidak sedahsyat bila berada di dalam dapur.

Gudeg Pawon merupakan salah satu makanan khas dini hari, karena warung ini buka setiap hari pada pukul 23.30 hingga pukul 5 pagi. Tetapi biasanya sebelum pukul 5, gudeg ini sudah habis. Sehingga, bagi Anda yang kelaparan pada tengah malam atau dini hari, gudeg ini patut dicoba.

Konon, dulu penjual gudeg ini merupakan penjual gudeg keliling. Karena gudeg yang dijual sangat lezat, banyak orang yang tak sabar untuk menanti si penjual gudeg ini lewat, sehingga mereka kemudian sering datang ke dapur si penjual gudeg untuk membeli gudeg tersebut secara langsung. Kebiasaan inilah yang kemudian mengilhami Gudeg Pawon.

Hingga kini gudeg ini masih terkenal, walau rasa dari gudeg ini menurut kami biasa saja. Kemungkinan pembuat gudeg yang sekarang adalah keturunan dari ibu penjual gudeg perintis gudeg pawon ini, sehingga kelezatan gudeg pawon yang sekarang tidak sedahsyat gudeg pawon jaman dahulu.

Harga gudeg ini juga cukup murah, kami memesan gudeg dengan telur, harganya hanya 4.000 rupiah per porsi. Tetapi nuansa klasik yang diperoleh ketika menyantap gudeg ini merupakan nilai lebih dari gudeg ini.

Kesimpulan
Lokasi: mudah dijangkau walau agak tersembunyi, tetapi dapur bertata ruang tempo doeloe memberikan nuansa klasik yang khas dan tiada duanya
Rasa: biasa saja, ndak ada yang istimewa
Harga: murah


SUMBER: http://www.cahandong.org

Saturday, September 20, 2008

Komunitas "Tangan Diatas"




Adalah sebuah komunitas bisnis yang bervisi menjadi Tangan Di Atas atau menjadi pengusaha kaya yang gemar memberi kepada sesamanya. Istilah kerennya adalah abundance atau enlightened millionaire.

Lho, sesederhana itu?

Tidak, nama ini merupakan perwujudan dari keyakinan kami bahwa menjadi Tangan Di Atas itu lebih mulia dari pada Tangan Di Bawah (TDB). Kami mengartikannya juga TDA sebagai pengusaha dan TDB sebagai karyawan. Di samping itu kami juga meyakini bahwa dengan menumbuhkan semangat berwirausaha, merupakan salah satu solusi konkret terhadap permasalahan ekonomi bangsa.

Bagaimana cara mewujudkannya?

Ya, tentu saja dimulai dari kami sendiri. Dengan semangat saling berbagi, saling mendukung dan bekerja sama dalam komunitas TDA. Semua itu telah diwujudkan dalam beberapa kegiatannya.

Kenapa harus dengan komunitas?

Kami yakin dengan bersama-sama segalanya akan lebih ringan. Keyakinan itu terbukti dengan kebersamaan ini kami bisa melakukan hal yang tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri.

Ada ciri khas lain yang membedakan TDA?

Ada, yaitu action oriented. Makanya seiring diplesetkan menjadi Take Double Action. TDA menghindari banyak melakukan diskusi dan perdebatan yang tidak produktif.

Apakah TDA lembaga sosial?

Dalam aktivitasnya, TDA adalah komunitas sosial, non profit. Tapi tujuannya adalah pragmatis yaitu agar para membernya menjadi 100% TDA alias pengusaha kaya.

Siapa saja member TDA ini?

Beragam. Tapi kalau di bagi ada 3 kategori, yaitu:

1. TDA, yaitu member yang sudah full berbisnis dan dalam upaya meningkatkan bisnisnya ke jenjang lebih tinggi.
2. TDB, yaitu member yang masih bekerja sebagai karyawan dan sedang berupaya untuk pindah kuadran menjadi TDA
3. Ampibi, yaitu member yang masih dalam tahap peralihan dari TDB ke TDA dengan melakukan bisnis secara sambilan

[dikutip dari : Tentang TDA]

Lebaran dengan sarung majalaya




DI kalangan bandar sarung Pasar Tanah Abang (Jakarta) dan Pasar Turi (Surabaya), kata "made in Majalaya" sangat akrab di telinga. Sejak 1960-an, istilah itu berarti sarung kelas ekonomi menengah ke bawah. Dari Majalaya -kota kecil 22 km sebelah tenggara kota Bandung- itu, setiap harinya ribuan kodi sarung tenun dibongkar di pasar grosir tadi.

Ciri-ciri sarung Majalaya mudah dikenali. Motifnya monoton kotak-kotak atau perpaduan lurik horisontal-vertikal, serat benangnya sedikit kasar. Acapkali pintalan dan rajutannya sedikit renggang dan mudah berbulu.

Pantas harganya lebih murah ketimbang sarung Pekalongan yang terkenal halus karena dibuat dengan teknologi canggih. Secara grosiran sarung Majalaya rata-rata harganya sekitar Rp 8.000-Rp 10.000/lembar. Untuk menyalurkan bantuan sosial kepada korban bencana, instansi pemerintah biasa mengambil sarung Majalaya sebagai pengisi paket.

Tetapi pada Ramadhan hingga Lebaran dan Lebaran Haji, order akan sarung Majalaya dari berbagai kota di Indonesia terus mengalir, bahkan sejak tiga bulan sebelumnya. Bagi sekitar 100 pengusaha tenun sarung di Majalaya, hal itu membuka secercah harapan menyambung hidup. Selama ini mereka megap-megap diterpa badai krisis ekonomi.

Haji Achmad (37) misalnya, sejak Oktober lalu meningkatkan produksi dari 280 menjadi 1.400 kodi/bulan. Lonjakan order membuat di hari libur pun tetap terdengar hiruk-pikuk suara 90 mesin tenun miliknya yang ditangani 70 pekerja. Hal sama terjadi pada pabrik tenun milik Haji Usep R (40). Produksi mereka langsung disambar bandar sarung dari berbagai kota, diangkut mobil boks begitu selesai dikemas.

Pasar Tanah Abang menjadi terminal distribusi sarung Majalaya buat kota-kota di Indonesia Barat, seperti Palembang, Padang, Medan, dan Banda Aceh. Sedangkan Pasar Turi Surabaya, mendistribusikan sarung Majalaya untuk kota-kota di Indonesia Timur, seperti Ujungpandang, Gorontalo dan Ambon.

Bahkan, ketika dollar masih menembus kisaran Rp 12.000, pedagang dari Filipina, Nigeria (Afrika), dan Banglades sering memborong sarung Majalaya dari kedua pasar itu.
***

UMUMNYA pengusaha tenun sarung Majalaya saat ini adalah generasi kedua dan ketiga yang mewarisi usaha orangtua. Sayangnya mesin-mesin warisan mereka tidak mengikuti zaman teknologi canggih karena masih mengandalkan tenaga manual. Setiap mesin dioperasikan seorang pekerja, sehingga tidak efisien dan rapi.

Terlepas dari istilah rezeki musiman, peningkatan order pada Ramadhan ini punya arti tersendiri bagi usaha rakyat berskala kecil yang tersisa di Majalaya. Paling tidak, untuk sementara waktu, industri tenun tradisional itu pelan-pelan menggeliat lagi.

Seakan mendapat suntikan energi baru, suara mesin tenun tak lagi selirih tiga-empat bulan yang lalu. Pekerja yang dirumahkan lantaran krisis ekonomi, dipekerjakan lagi. Mereka dibayar tidak terlalu jauh dari standar UMR Jabar yang sebesar Rp 7.200 per hari.

Puluhan pabrik tenun yang selama ini hanya mempertahankan hidup dengan mengerjakan pesanan rajutan karung tepung terigu, ikut-ikutan menyisihkan sebagian waktunya untuk membuat sarung. "Sayang kalau momen Ramadhan terlewatkan tanpa sarung," ujar Yayat (42), pemilik pabrik tenun yang biasa merajut maklun, karung tepung terigu.

Di samping kelihaian sendiri, pengusaha tesktil kerap meraih order berkat kemitraan Koperasi Pengusaha Pertekstilan (Koppertek) dengan pihak luar. Begitu pula dalam urusan pengadaan bahan baku benang. Lewat koperasi dan bandar-bandar benang di Majalaya, para pengusaha sarung tidak terlalu sulit mendapatkan benang dari berbagai jenis, seperti polyester dan katun.

Untuk setiap kodi sarung (sepuluh lembar sarung) dibutuhkan sekitar 6 kg benang yang dibeli dalam satuan bal (satu bal setara dengan 181,44 kg benang). Polyester dibeli Rp 35.000-Rp 40.000/kg, katun 20-S antara Rp 900.000 - Rp 1.000.000/bal. Dalam krisis ekonomi, harga bahan tersebut bisa naik 30 persen. Keuntungan yang mereka raih tidaklah terlalu besar. Paling banter 10-20 persen dari harga pokok produksi (HPP).

Dengan meningkatnya produksi, kebutuhan akan benang otomatis terdongkrak, tetapi pengusaha tenun tidak pernah risau. Benang bisa juga diperoleh dari bahan sisa pabrik tenun modern. Bahan tak terpakai karena salah desain di pabrik tekstil besar, didaur-ulang pabrik tenun konvensional, harganya pun lebih murah 30-50 persen.

Bagian baju berbahan polyester "gagalan" itu didaur-ulang dengan mengolahnya menjadi lembaran-lembaran benang. Dari dua ton "gagalan" bisa dihasilkan satu ton benang polyester.

Tak mau kalah oleh produk sarung kelas atas, pengusaha tenun Majalaya suka memberi embel-embel pada produknya berupa cap yang mirip merek sarung papan atas yang lagi ngetren. Misalnya pada tahun 1970-an, ketika sarung cap "padi" lagi naik daun, Majalaya berusaha bonceng tenar dengan membuat cap "padi jaya" atau "padi mas". Ketika cap "gajah" sedang terkenal, mereka ikut-ikutan merancang label semisal cap "gajah mangga", "gajah duduk", atau "gajah jongkok".

Yang pasti dengan merek-merek boncengan itu, banyak warga masyarakat bisa berlebaran dengan gaya. Entah, apakah situasi itu juga berlaku di zaman krisis sekarang. (nasrullah nara)

Sumber:© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas

Tanaman padi dalam pot.. Inovatif !





Bandung, Jl. Alfa No. 92, Cigadung II, 08 Februari 2008
Foto: Sobirin, 2008, Padi Dalam Pot Umur 2 Minggu
Oleh: Sobirin
Menanam padi dalam pot atau ember bekas telah dicoba oleh banyak orang. Kebanyakan penasaran, bisakah? Tahun 2006 saya melakukannya dengan kompos dan MOL. Hasilnya bagus sekali. Karena banyak yang menanyakan, saya sedang mencoba lagi.


Hasil ulasan wartawan Kompas Yenti Aprianti tentang rumah saya yang zero waste dan ketika coba-coba tanam padi dalam pot. Hasil padi dalam pot sangat menggembirakan.

Banyak yang menanyakan dan ingin melihat sendiri tanaman padi dalam pot yang saya lakukan. Tanaman lama telah dipanen, maka saya menanam lagi yang baru. Dulu saya menggunakan ”MOL dapur”, sekarang saya mencoba dengan ”MOL peuyeum”. Foto di atas adalah tanaman padi pot saya yang baru, umur 2 minggu, lihat tanggal-tanggalnya.

Padi dalam pot? Padi SRI? System of Rice Intensification model pot? Bagaimana cara yang saya lakukan? Barangkali ada pembaca yang ingin mencobanya. Konsepnya adalah: tanah ditambah kompos ditambah MOL adalah “bioreaktor”, yaitu tanah yang mandiri memberikan “nutrisi” kepada tanaman. Sama sekali tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia.

Begini cara yang saya lakukan:

Pertama, pilih benih padi yang bagus, jenisnya terserah, bisa Sintanur atau apa saja. Cara memilih benih yang bagus secara praktis yaitu dengan memasukan benih kedalam gelas berisi air garam (garamnya secukupnya saja). Benih yang mengapung adalah benih yang kurang baik, sedangkan benih yang tenggelam adalah benih yang baik.

Kedua, rendam dulu benih-benih tersebut dalam air tawar barang 1 (satu) hari, untuk melunakkan kulit biji benih.

Ketiga, cari wadah, bisa besek bambu atau pipiti. Masukan tanah campur kompos (buatan sendiri) ke dalam besek tadi. Tanahnya 1 bagian, komposnya 2 bagian, aduk sampai rata, basahi dengan MOL yang telah diencerkan. MOL-nya 1 bagian, airnya 15 bagian.

Keempat, tebarkan benih-benih yang telah direndam tersebut ke permukaan tanah kompos dalam besek. Biarkan benih-benih ini tumbuh. Hari kedua dan ketiga nampak akar kecambah mulai muncul, warnanya putih. Hari keenam dan ketujuh mulai tumbuh menjadi bibit padi dengan daun 2 lembar kecil-kecil.

Kelima, siapkan ember bekas atau pot ukuran besar. Isikan penuh kedalam pot ini campuran tanah dan kompos, siram dengan MOL seperti langkah ketiga. Cukup becek-becek kering, atau macak-macak. Jangan basah dengan air menggenang.

Keenam, pada hari kedelapan, pilih salah satu bibit terbaik (satu saja!), ambil hati-hati dengan pinset supaya akar-akarnya tidak potong, lalu pindahkan ke pot yang telah kita siapkan. Cara menanam bibit dalam pot ini tidak ditanam “dalam-dalam” ke dalam tanahnya, tetapi cukup ditaruh dipermukaannya saja dengan hati-hati. Sisa bibit yang lain dalam besek bisa ditanam dalam pot-pot lain.

Ketujuh, tiap hari dirawat. Bila ada rumput liar harus dicabut. Tiap 3 hari siram dengan MOL yang telah diencerkan, jangan terlalu becek. Tanah diaduk pelan-pelan agar udara bisa masuk. Hati-hati bila mengaduk tanah, jaga jangan sampai alat aduk mengenai akar padi muda ini.

Kedelapan, dan seterusnya, lakukan perawatan dengan cara yang sama. Bila cara perawatan benar, maka bibit padi yang asalnya hanya satu, telah beranak pinak menjadi sekitar 100 (seratus) batang padi yang masing-masing penuh dengan bulir padi. Dalam waktu 3-4 bulan bulir-bulir padi bisa dipanen (tergantung dari jenis padinya).

Berapa hasilnya? Ketika saya panen padi dalam pot pada tahun 2006 yang lalu, saya coba timbang. Hasilnya dalam 1 pot mencapai 1 ons (tradisional), atau 0,1 kg, atau 100 gram padi kering panen atau gabah kering panen (GKP).

Berapa kalau diekstrapolasi sampai seluas 1 hektar? Jarak tanam padi model SRI ini umumnya 30 cm. Jadi dalam 1 meter persegi kurang lebih sebanyak 10 batang padi yang ditanam satu-satu, bukan serumpun-serumpun. Luas 1 hektar sawah sama dengan 10.000 meter persegi, jadi jumlah padinya sama dengan 100.000 batang. Total panen padi sama dengan 100 gram dikalikan 100.000 batang padi, sama dengan 10.000.000 gram atau 10.000 kg atau 10 ton gabah kering panen (GKP), atau sekitar 7,5 ton gabah kering giling (GKG), atau 5 ton beras organik yang sehat karena tanpa pupuk kimia.

Itu sekedar coba-coba, apalagi bila serius dan oleh ahlinya, dipastikan panennya akan lebih dari 10 ton GKP per hektar. Selamat mencoba dengan kompos dan MOL buatan sendiri.

Posted by Mr. Sob Zerowaste at 7:35 PM

sumber: http://clearwaste.blogspot.com

Wednesday, September 10, 2008

Kunir dan Keluak pun Jadi Kaligrafi




SURABAYA - Seekor burung garuda mencengkeram puncak Tugu Monas. Tepat di bawah tugu, gedung-gedung pemerintahan tenggelam akibat diterjang air bah. Pada saat bersamaan, di langit terdapat tulisan Arab berbunyi Astagfirullah. Itu salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran lukisan kaligrafi bertajuk Firman-Mu Sumber Keteduhan Hati di Galeri Surabaya kemarin (5/9).

Pameran bersama tersebut memajang 25 lukisan karya enam pelukis kaligrafi Jawa Timur. Mereka adalah Budi Sulaiman, Bambang Tri E.S., Salim N.D., Zaid Jubir, M. Djuhadi Djauhar, dan A. Rachman. Meski sama-sama menekuni seni lukis kaligrafi, mereka memperlihatkan gaya masing-masing dalam mempresentasikan ide. Sebagian pelukis juga memilih media "tidak biasa" untuk karya mereka.

M. Djuhadi Djauhar, misalnya. Pelukis asal Kediri itu menggunakan media rempah-rempah (kunir, keluak) dan kapur sebagai pengganti cat. Guru seni rupa itu juga memanfaatkan jelaga, kuning telur, dan arang dalam lukisannya. Kadang dia juga mencampurkan bunga kesumba sebagai tambahan.

Benda-benda tersebut bisa menghasilkan warna mirip cat minyak. "Misalnya, kunir untuk warna kuning dan keluak untuk warna cokelat tua," jelas pria 60 tahun itu.

Ditanya kenapa menggunakan benda-benda pengganti cat tersebut, pelukis kelahiran 31 Oktober 1948 itu menyebut dua alasan. Salah satunya, itu cara mencari identitas sebagai pelukis. "Yang kedua, ini salah satu upaya memanfaatkan kekayaan alam Indonesia," jelasnya.


Tak seperti Djuhadi yang berkreasi dengan rempah-rempah, A. Rachman memilih memadukan akrilik, lem tembok, dan pasir sebagai media lukis. Mengusung jalur kontemporer, pelukis asli Surabaya tersebut menciptakan lukisan kaligrafi dengan goresan-goresan spontan. Itu, misalnya, terlihat pada karyanya yang bertajuk Demi Masa. Dari jauh, lukisan kaligrafi bertulisan Wal Ashr (demi masa) itu tampak seperti lukisan cat akrilik biasa. Namun, bila dilihat dari dekat, akan tampak sekumpulan pasir yang menghiasi beberapa huruf Arab itu.



Pameran tersebut juga menampilkan kaligrafi timbul karya Bambang Tri E.S. Memanfaatkan bidang dan garis, seniman asli Sidoarjo itu memakai geiso (semacam pasta) dipadu akrilik untuk menuangkan ide.




Pameran lukisan yang dijadwalkan berlangsung hingga 13 September itu, menurut Djuhadi, merupakan salah satu upaya menaikkan kembali pamor lukisan kaligrafi. "Pameran bersama ini diharapkan membuka mata masyarakat bahwa lukisan kaligrafi memiliki muatan sejajar dengan karya seni rupa lain," jelasnya. (ken/soe)
Sumber: http://www.jawapos.co.id

Rumah sehat zakat




Pada masa lalu, zakat selalu dipandang sebelah mata. Perannya hanya dibingkai pada waktu akhir bulan Ramadhan dan digunakan hanya untuk memberikan makanan kepada fakir miskin pada Hari Raya Idul Fitri. Mungkin karena saat itu konsentrasi masyarakat barulah pada zakat fitrah. Sehingga pemanfaatan zakat tidak pernah menyentuh persoalan dasar masyarakat secara luas.

Pada tanggal 5 November 2001, Dompet Dhuafa Republika sudah mengawalinya dengan meresmikan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma di daerah Ciputat Tangerang. Klinik semi rumah sakit ini diresmikan oleh Wakil Presiden saat itu, yaitu Hamzah Haz. Saat ini, LKC Ciputat ini telah memiliki anggota lebih dari 50.000 jiwa yang dilayani. Meskipun pada awalnya, sebagian masyarakat ragu, apakah LKC akan mampu terus bertahan melayani masyarakat yang terus bertambah, sementara sumber dananya hanyalah ”ketidakpastian” penerimaan zakat ? Waktu, ternyata membuktikan bahwa bukan hanya mampu bertahan, tetapi LKC malah terus beranak pinak. Dari mulai Klinik LKC di Ciledug, Klinik LKC di Bekasi, Rumah Bersalin Cuma-Cuma di Bandung, dan kini menyusul Rumah Sehat LKC Masjid Sunda Kelapa.

Rumah Sehat LKC Sunda Kelapa akan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai simbol pengakuan bahwa menolong mereka yang kesulitan adalah tanggung jawab semua orang. Peresmian oleh Presiden juga menandai bahwa masalah pengelolaan zakat telah menjadi bagian komitmen pemerintah untuk mendukung dan mengembangkannya. Apalagi meskipun berlokasi di kawasan yang terbilang elit, belum genap satu minggu beroperasi sudah lebih dari 2.500 mustahik terdaftar sebagai anggota. Rupanya di balik kawasan yang terkenal ”sejahtera” tersebut tersimpan potensi orang miskin yang banyak. Ke depan, Rumah Sehat LKC Sunda Kelapa ini akan menjadi media interaksi langsung yang sangat efektif antara kalangan masyarakat berpunya dan masyarakat miskin.

Kami juga sengaja memilih nama Rumah Sehat, bukan Rumah Sakit, karena kami ingin sejak awal ”rumah sakit” ini berorientasi positif dan membangunkan semangat kebaikan. Kita menginginkan orang yang sakit dan paramedis yang menanganinya memiliki motivasi yang kuat untuk mengupayakan menjadi sehat. Karena bukankah setiap kata atau nama yang kita ucapkan juga memiliki pengaruh dalam jiwa kita ? Kami berharap bahwa kehadiran LKC di Masjid Sunda Kelapa akan menjadi bagian dari upaya mewujudkan masyarakat yang sehat, baik jasmani maupun rohani.

Peresmian ini juga sengaja dilakukan pada awal bulan Ramadhan untuk lebih menguatkan pesan kepedulian yang dibawakan. Ramadhan adalah bulan mulia yang di dalamnya penuh dengan ibadah kepada Sang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT. Melayani dan menolong orang-orang lemah adalah salah satu bentuk ibadah yang sangat mulia. Bahkan tidak sempurna ibadah Ramadhan kita, manakala tidak mampu menumbuhkan solidaritas sosial kepada mereka yang kekurangan.

Semoga, manakala ada di antara kita ada yang ingin bersedekah, berwakaf atau menunaikan zakat harta, maka melalui sarana seperti Rumah Sehat akan lebih menajamkan pemenuhan ibadah yang tidak semata-mata mengejar pahala berlipat di bulan mulia, akan tetapi juga yang memiliki dimensi pemberian manfaat yang nyata kepada mustahik.

Manakala masyarakat terus memberikan amanah zakat atau dana sosial lain melalui segenap institusi zakat dan dari waktu ke waktu semakin meningkat, maka kami memiliki cita-cita, selain terus mereplikasi klinik-klinik kecil di daerah kumuh atau tertinggal, kamipun bermimpi untuk membangun Rumah Sehat berskala rumah sakit internasional sebagai rumah sakit rujukan yang didedikasikan bagi masyarakat miskin. Dimana seluruh layanannya betul-betul kita gratiskan. Menjadi kewajiban kita semua untuk mengupayakan sekaligus mengawasi agar Rumah Sehat LKC Masjid Sunda Kelapa berjalan baik dan menghias indah lukisan zakat di Indonesia.

Sumber: http://amilzakat.blogspot.com

Monday, September 8, 2008

Geliat mukena Tasikmalaya



Meski tak seramai tahun lalu, pesanan mukena di Tasik tiga bulan belakangan meningkat tajam. Para pengrajin pun harus lembur demi memenuhi pesanan. Untung mesin bordir senilai Rp 600 juta, datang tepat waktu.

Senja sudah merambat malam di Desa Pegaden, Kawalu, Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (12/8). Seakan berlomba, suara mesin bordir dari tiap rumah penduduk pun mulai mengisi malam desa yang terkenal dengan kerajinan bordir Tasik tersebut.

Di serambi rumah Uha Ruhana (40), lima pekerja, satu di antaranya wanita, sibuk menyelesaikan bordir untuk mukena. Ya, sebulan belakangan ini mereka wajib lembur hingga pukul 22.00 gara-gara membanjirnya order. "Kami libur lembur hanya malam Minggu saja," kata Uha seraya bercerita, belakangan order bordir meningkat 30 persen. Uha terpaksa mewajibkan pekerjanya lembur karena susah mencari pekerja tambahan. "Kalau tidak lembur, pesanan tak mungkin terkejar." Kalau toh sampai kewalahan, ia akan "melempar" pesanan itu ke para tetangga yang hampir semuanya punya mesin bordir.



Tak hanya lima pekerjanya yang dikerahkan menyelesaikan pesanan, istri Uha, Een Khoeriyah (37), dan anaknya, Sova Patrotul Alawiyah (17), juga dilibatkan. Ibu dan anak ini bertugas melubangi kain dan merapikan benang, sebelum pesanan mukena diserahkan ke pemesannya, pasangan Hery Hasan (50) dan Ny. Titik Suprapti, pemilik Kabisa Bordir.

Selama ini Uha memang memilih hanya jadi pengrajin. Semua produksi mukenanya disetor ke Kabisa Bordir. "Ada, sih, keinginan memasarkan sediri, tapi untuk saat ini kami sudah komit dengan Bu Titik." Sudah lama pria berambut panjang ini bekerjasama dengan Titik dan Hasan yang masih ada ikatan saudara. "Selama ini tidak ada masalah. Kami selalu bisa menyelesaikan pesanan tepat waktu."

Jakarta Hingga Malaysia

Soal tenggat, memang harus ditaati para pengrajin bordir di Tasik. Sebab, para pedagang, termasuk Titik dan Hery, tiap Minggu dan Rabu malam membawa dagangannya ke Jakarta atau ke kota-kota lain seperti Cirebon dan Yogya. "Jadi, Senin dan Kamis pagi, kami sudah siap jualan di Jakarta," kata Titik.

Titik yang menjual mukena dengan dua motif, Aster dan Gepe, mengamini peningkatan pesanan dan penjualan menjelang Ramadhan tahun ini. "Memang, dibanding tahun lalu, pesanan tahun ini sedikit menurun. Tahun lalu, tiga bulan menjelang puasa sudah ramai. Sekarang, sih, baru mulai ramai sebulan belakangan,' imbuh Hery.



Peningkatan order, jelas Herry, bisa mencapai 100 persen, bahkan lebih. "Kalau pastinya, tidak tentu. Yang jelas, sekali berangkat ke Jakarta, paling banyak bawa mukena, sajadah, dan tasnya, sekitar 40 kodi," tandas Hery yang selain pada Uha, juga memesan pada adiknya yang punya 30 karyawan. Padahal, di rumahnya di bilangan Perumahan Pondok Tandala, Kawalu, Tasikmalaya, Hery juga punya 3 karyawan penjahit mukena.

Uniknya, sebagian besar mukena yang dibawa Herry ke Jakarta, merupakan pesanan dari berbagai daerah, seperti Padang, Makassar, Balikpapan, Samarinda, Lampung, bahkan Malaysia. "Kebanyakan, sih, dari luar Jawa. Ada yang datang mengambil ke Jakarta, ada pula yang sampai sekarang saya belum pernah bertemu. Jadi, pesan lewat telepon, lalu saya kirim dari Jakarta. Uangnya ditransfer," urai Titik yang menjual satu set mukena Rp 170 ribu. "Kalau kodian, harga lebih murah, Rp 160 ribu."


Tren Gelombang Cinta

Selain Kawalu, ada pula Kampung Cimawate, Karunajaya, Sukaraja, yang juga jadi pusat bordir di Tasik. Ndang Wanda (45) yang punya satu mesin bordir komputer dan 80 mesin manual ini mengaku, tiap ke Jakarta membawa mukena dengan total nilai Rp 80 juta.
Ayah 4 anak ini memang banyak memproduksi mukena untuk kelas menengah-atas. Harga perkodinya paling murah Rp 2 juta dan paling mahal Rp 3,5 juta dengan bahan kain semi-sutera.

Diakui Ndang, tiga bulan menjelang Ramadhan, pesanan mukena mulai berdatangan. Beruntung, Rabu (13/8) lalu, mesin bordir komputer seharga Rp 600 juta yang khusus didatangkan dari Jepang, tiba di rumahnya. "Jadi lumayan, bisa nguber pesanan yang mulai banyak."

Jika kini Ndang tengah sibuk-sibuknya nguber pesanan mukena untuk Ramadhan dan Lebaran, jangan kira usai Lebaran ia dan karyawannya bisa ongkang-ongkang kaki. Justru Ndang harus bergegas memenuhi pesanan mukena untuk masa umrah hingga menjelang Lebaran Haji nanti.



Selain Ndang, pasangan H. Agus dan Hj. Wiwin juga menjadi pengrajin mukena yang terbilang sukses di Kampung Cimawate. Meski merahasiakan omsetnya, Wiwin mengaku punya 3 mesin bordir komputer. Masing-masing punya 10 "kepala" yang bisa membordir di saat bersamaan. Selain itu, ia juga punya puluhan mesin bordir manual. Wiwin juga sependapat, pesanan tahun ini menurun. Padahal, Lebaran tahun lalu, Wiwin berhasil mendapat "THR" sebuah laptop dari toko benang langganannya karena ia membeli benang dalam jumlah amat banyak.

Soal merosotnya pesanan tahun ini, diduga Wiwin lantaran harga kain dan benang yang terus meningkat dari bulan ke bulan. "Sementara untuk menaikkan harga mukena juga susah, karena harus bersaing dengan pengrajin lain," tambah Wiwin sambil bercerita tentang tren gaya Gelombang Cinta yang melanda dunia mukena belakangan ini.

Roda ekonomi di Kampung Cimawate memang digerakkan oleh usaha mukena. Menurut salah seorang warga, nyaris semua pengrajin di kampung ini menggapai sukses. Salah satu indikasinya, ada 24 orang yang akan berangkat haji tahun ini. "Tahun lalu malah 32 orang." Selain pergi haji, ukuran sukses juga tercermin dari beberapa bangunan rumah tingkat di kampung ini.

Sumber ; http://www.tabloidnova.com

Thursday, September 4, 2008

Di Kolong Ibu Kembar Mengajar



Sepasang saudara kembar mencurahkan hidup untuk anak-anak miskin. Mereka membangun sekolah darurat dan menyalurkan murid ke dunia kerja.

Di Jakarta ini sangat sulit mencari orang seperti Sri Rosiyanti dan Sri Irianingsih. Dua perempuan kembar ini bukan hanya dermawan, melainkan juga mendedikasikan hidup untuk mengajar anak-anak miskin.




Ibu Kembar, begitu mereka biasa dipanggil. Mereka kini berumur 57 tahun. Seperti biasanya, pekan lalu keduanya berada di Sekolah Darurat Kartini Lodan, Ancol, Jakarta Utara. Sri Rosiyanti yang biasa disapa Bu Rosi sibuk mengawasi dua murid sekolah dasar sedang menyulam alas meja. Sementara Sri Irianingsih yang akrab disapa Bu Ryan sibuk mengajar matematika untuk anak kelas III sekolah dasar.



Tiap pukul 6 pagi Ibu Kembar meninggalkan rumah mereka di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara, untuk mengajar. Sebelum sampai sekolah mereka berbelanja untuk kebutuhan para murid. Belanjaan mereka macam-macam, mulai dari perlengkapan sekolah hingga bahan makanan untuk konsumsi 420 murid.



Sekolah gratisan itu menempati lahan 100 meter persegi. Atapnya jembatan layang jalan tol dan dindingnya kayu lapis. Bangunan sekolah itu hanya mempunyai satu pintu, tanpa jendela. Ruang kelas juga tak ada. Meja serta papan tulisnya buatan sendiri, dan tampak kasar. Tempat duduknya kursi plastik. Beberapa bagian lantai belum kering, baru saja ditambal. Seorang tukang batu masih sibuk menambal bagian lain lantai yang juga rusak.



Hebatnya, sekolah sempit ini memiliki 420 murid, mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah umum. Semua murid menggunakan ruang yang sama. Mereka tumplek-­blek bagai ikan pindang dalam satu ruang.





Karena sekolah itu di bawah jembatan layang jalan tol, suara bising kendaraan terdengar dari ruang belajar. Namun para murid tak hirau, dan menganggap suara itu bagai angin lalu saja.

"Saya bangga, senang,

dan menikmati."


Setiap tahun sekolah ini meluluskan 100 murid dari berbagai tingkat, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah umum. "Saya bangga, senang, dan menikmati," kata Bu Rosi.



Ibu Kembar menjalani aktivitas ini sejak 1990. Mulanya mereka membuka sekolah darurat di Jembatan Tiga, Jakarta Barat. Enam tahun kemudian sekolah itu dipindah ke Lodan, Ancol. Ternyata sambutan orang tua murid sangat positif. Bahkan para preman di wilayah itu mendukung aktivitas Ibu Kembar, sehingga aman dari penggusuran dan gangguan lain.



Ide membuka sekolah bagi anak-anak miskin muncul saat Sri Rosiyanti melintas di kawasan Pluit, Jakarta Utara, tahun 1990. Saat itu terjadi tawuran yang melibatkan anak-anak dan remaja. Ia terpaksa berhenti dan menitipkan mobilnya di sebuah gudang untuk menghindari batu-batu yang beterbangan. Saat melihat tawuran itu ia menyaksikan rumah-rumah kardus di bawah jalan tol.



"Betapa kasihan mereka, hidup sengsara," katanya. "Tanpa pendidikan, mereka tidak akan hidup layak seperti manusia lainnya yang sudah bermartabat."



Sri Rosiyanti tak mau diam saja dan hanya menyalahkan pemerintah yang tidak berbuat apa-apa. Sejak itu ia bertekad membuat sekolah bagi warga permukiman kumuh. Pada 1996, adiknya, Sri Irianingsih, bergabung sepulang mengikuti suami yang berdinas di pedalaman Lombok, Nusa Tenggara Barat.



Ibu Kembar pun memulai kegiatan sosial ini dengan modal sendiri. Bu Rosi memang tidak mau menerima bantuan lembaga asing, yang dianggapnya terlalu mengatur. Ia pernah didatangi lembaga asing yang menjanjikan bantuan tapi dengan syarat tidak boleh mengajarkan baca-tulis. Tentu saja ia menolak. "Kamu tak boleh mengatur. Ini negara saya," ujarnya tegas.



Untuk membiayai sekolah itu, Ibu Kembar mengeluarkan Rp 25 juta per bulan dari kantong pribadi. Uang itu digunakan untuk konsumsi para murid, gaji guru,perawatan sekolah, dan keperluan lain. Uang sebanyak itu ia ambil dari cara memotong 25% penghasilan suami Bu Rosi yang merupakan dokter spesialis kandungan.



Sebelum membuka sekolah darurat, Bu Rosi pernah menjadi guru sukarela untuk anak-anak pedalaman di Kalimantan. Saat itu ia mengikuti suaminya yang bertugas di pedalaman Kalimantan. Maklum, anak ke tujuh dari delapan bersaudara ini lulusan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Semarang, Jawa Tengah. Dengan menjadi guru sukarela, ia bisa mempraktikkan ilmunya sebagai sarjana pendidikan.

"Tanpa pendidikan,

mereka tidak akan

hidup layak seperti

manusia lainnya yang

sudah bermartabat."




Jiwa kedermawanan Sri Rosiyanti dan Sri Irianingsih tidak datang tiba-tiba. Sikap murah hati memang dipupuk ayah mereka sejak kecil. Sang ayah, Edi Soeharno, insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung. Ibunya, RA Soeminah, guru kepandaian putri. Dua sosok yang paling dikagumi itulah yang membentuk kepribadian Ibu Kembar.



Ibu Kembar sangat terkesan pada salah satu tindakan ayahnya waktu mereka masih kecil. Ayahnya yang merupakan "tuan tanah" membagi-bagikan berhektare-hektare tanahnya untuk warga miskin di Semarang. Bahkan, saking pemurahnya, sang ayah rela "hanya" menyisakan 600 meter persegi tanah untuk keluarganya.



Upaya Ibu Kembar mendirikan sekolah darurat sejak 1990 bukan tanpa hasil. Saat ini banyak mantan muridnya yang sudah "jadi orang". Ada yang menjadi polisi, tentara, wartawan, manajer, dan pengusaha. Kini Ibu Kembar sering menyalurkan mantan anak didiknya untuk bekerja di mal-mal yang makin marak di Jakarta.



Tapi itu semua bukan akhir dari mimpi Ibu Kembar. Ia masih punya cita-cita lain. Ia ingin membuat asrama bagi anak-anak jalanan. "Anak gelandangan saya ambil, saya asramakan, saya sekolahin," kata Bu Ryan. (E2)
Sumber: www.vhrmedia.com

"SHARE " ARTIKEL INI KE TEMAN -TEMAN ANDA :

"Klik di gambar atau tulisan2 diatas/dibawah ini ! "/"Click on Pictures or Text on above/below " :

.

Pasang banner iklan anda disini ..Hanya Rp 10 rb/BULAN ! . Hub Andi email aeroorigami @yahoo.com :

create your own banner at mybannermaker.com!

SELAMAT DATANG ...

DI SITUS BLOG.. BERITA HARIANKU ..


Situs blog “Berita harianku” adalah situs blog yang berisi aneka informasi meliputi: berbagai macam artikel menarik dan unik yang diambil dari berbagai situs, informasi berita harian dari berbagai situs : kompas, liputan 6, detik, media Indonesia , antara, tempo dll, juga terdapat aneka link situs informasi seputar kesehatan, pengetahuan, kuliner, wisata, serta info-info menarik lainnya yang bermanfaat untuk Anda.

Situs blog “Berita harianku “ hadir untuk membantu memberikan layanan aneka informasi bermanfaat bagi Anda, bukan bermaksud untuk “menjiplak”/”mengcopy” artikel, melainkan untuk membantu mengumpulkan berbagai artikel menarik dari berbagai situs agar semakin banyak diketahui masyarakat luas. Turut berperan dalam memperhatikan kode etik jurnalistik serta hak cipta, dengan cara mencantumkan dan mempopulerkan situs asal sumber artikel serta penulisnya. Atas keberatan pemuatan artikel di situs blog ini, atau kritik dan saran, mohon kirim email ke aeroorigami@yahoo.com.

Segala bentuk layanan penjualan atau iklan di situs ini, bukan merupakan sebuah rekomendasi melainkan hanya sebagai penyampai informasi saja… Nikmati sajian informasi dari situs blog “Berita harianku” dan…Jadikan situs ini sebagai “teman” bacaan online Anda setiap harinya..!

_________________________________________________________________________________________


Search on "Google" :